Senin, 09 Juli 2007

Pernikahan Putriku

Ketika aku mendekati pintu, suara-suara yang gugup semakin terdengar lebih jelas. Mantan istriku, Wati, yang kuceraikan delapan tahun yang lalu sedang memberikan perintah perintahnya pada seseorang. Aku mendengar suara tawa yang renyah dari putrid bungsuku, Erna yang berusia sembilan belas tahun, dan protes dari kakaknya, Endang, pengantin sang pengantin wanita. Dalam usianya yang ke dua puluh satu tahun, muda dan keras kepala, saat menceritakan padaku kalau dia akan menikah, aku terdiam merasa kecewa dan tergoncang, tapi aku menyembunyikannya dengan mendoakannya keberuntungan yang terbaik dan sebuah kehidupan yang selalu bahagia. Suara yang lain yang tidak aku kenal dan menebak kalau itu adalah suara para pengiring pengantin, gugup dalam kebahagiaan mereka untuk yang lain, barangkali menantikankan hari mereka sendiri.

Kurapikan dasi kupu-kupuku dengan bercermin di gang, aku mmelihat bayangan diriku dalam cermin, mengerutkan dahi merasa tak nyaman memakai pakaian resmi yang membatasi ini. Kuperhatikan diriku, rambutku masih terlihat hitam dan terima kasih karena kulihat bahwa sama sekali belum ada uban di usia empat puluh satu tahun ini. Wajahku terlihat keras karena tahun tahun travellingku dan sering keluar masuk di lingkungan yang keras yang notabene penuh asap dan alkohol. Dan ketika aku mempelajari mata lelaki dalam cermin ini, aku mendapatkan gambaran akan kehidupan yang menghantarku hingga di sini. Aku jumpa Wati saat kita berdua terlalu muda untuk membedakan mana yang baik, dan dia meyakinkan pemain gitar ini kalau kita berdua bisa menaklukan kerasnya dunia.

Dia lulusan sebuah perguruan tinggi dengan pekerjaan tetap dan aku seorang lelaki yang pergi bertualang dari kota satu ke kota lainnya berkeliling negeri ini. Anak-anak gadis kami lahir di awal perkawinan, yang membuat kami masih bersama sekitar lima tahun lamanya hingga kita berdua menyadari kalau hubungan ini sudah tak dapat dipertahankan lagi. Dia bertemu dengan seorang pria lain yang mempunyai sebuah kehidupan yang stabil, yang menurutnya akan lebih baik untuk kehidupan kedua putri kami. Perceraian datang dan terjadi seperti perkiraan kami dan aku menetap di dekat mereka untuk beberapa tahun sampai memperoleh sebuah lompatan besar sebagai pemusik studio di Ibu Kota. Sejak saat itu, aku mencoba yang terbaik agar tetap bisa berhubungan melalui telepon, lewat kiriman foto, dan tour keliling yang sekali-kali singgah di dekat situ. Dan saat aku menatap dalam kaca, aku melihat sebuah penyesalan yang terpancar ke luar.

"Ayah, apa yang Ayah lakukan?"

Aku kembali pada kesadaranku oleh suara putriku, Erna. Dia terlihat cantik bahkan disaat memakai baju pengiring pengantinnya yang menggelikan itu. Kulitnya yang kuning langsat dan rambutnya yang hitam pekat terlihat kontras dibandingkan dengan warna metalik dari pakaian itu. Dia tersenyum dalam kecantikannya yang lugu dan menatapku dengan bingung. "Hanya mengenang masa lalu," kataku. "Saat seperti ini membuat kamu berpikir kalau kamu telah membuat keputusan yang salah. Bagaimana itu mempengaruhi hidup orang lain."

Dia menghiburku dengan pelukan dan mengusap bahu dan punggung lenganku. "Ayah lakukan apa yang harus Ayah lakukan," dia berkata. "Aku tidak memusuhi Ayah. Aku akan melakukan hal yang sama bila berada dalam posisi tersebut. Aku akan lebih memilih pengalaman hidup daripada mengambil keputusan seperti yang diambil Ibu."

Pijatannya yang lembut menenangkan keteganganku, dan saat aku menjadi lebih santai aku sadari betapa aku menikmati dadanya yang menekan tubuhku. Dengan tinggiku yang sekitar dua belas centimeter lebih tinggi dari Erna, aku menggerakan tanganku dari punggungnya yang kecil naik ke bahunya yang telanjang dan menekannya merapat padaku. Dia membalas memelukku erat dan tersenyum dengan tidak berdosa. Kutundukkan kepalaku, dan memberinya sebuah ciuman ringan di atas dahinya, tetapi dia malah berjinjit pada jari kakinya dan dengan cepat menemukan bibirku. "O-o," dia tertawa genit, "Sebaiknya Ibu tidak melihat. Dia mungkin akan cemburu. Atau Endang, mungkin."

Aku tersenyum pada kelakarnya dan ketika dia berjalan sepanjang aula tidak bisa percayai reaksinya pada perlakuanku yang dengan pelan memukul pantatnya. "Mungkin nanti, Ayah bisa mencobanya saat aku tidak memakai pakaian gembung ini."

Gaunnya turun hingga ke bawah lututnya dan itu terlihat indah, kaki-kaki itu laksana sebuah magnet yang membuat mataku lengket selalu menatapanya saat menggerakan keindahan ini, wanita muda melenggang pergi. Aku membayangkan pantat yang manis, kencang yang dia miliki. Aku juga membayangkan seperti apa rasanya pantat itu di dalam tanganku ketika dia ‘mengendarai’ naik turun pada penisku, meneriakkan, "Setubuhi aku, Ayah. Setubuhi putri kecilmu. Masukkan penismu dalam vagina panas putrimu." Kepergok sedang memandangi dan menghayalkannya, aku melihat ke arah putriku yang menengok ke belakang. Dia tersenyum dan menggelengkan kepalanya saat dia belok di ujung gang itu.

Kembali ke kenyataan, aku akan mengetuk pada pintu di mana pengantin wanita sedang bersiap-siap ketika mantan istriku membuka pintu itu dan ke luar. "Rudi," dia berkata dalam sebuah nada yang memperingatkan, "Kita harus bicara."

Aku bergeser dari pintu untuk memberinya ruang.

"Endang, ingin agar Anton yang berjalan sepanjang karpet itu. Sekarang, kamu benar-benar tidak punya alasan untuk mengganggunya."

"Aku tidak peduli," aku menjawab deklarasinya. Aku merasa terluka, tapi rasa bersalahku akan kehidupanku berkata ini adalah konsekwensi dari keputusan hidupku yang lain . "Aku harap aku bisa bicara dengannya sebelum upacara," kulirik pada arlojiku. Masih ada waktu satu jam. "Aku ingin meluruskan beberapa hal. Ingin mendoakan keberuntungannya. Hal-hal seperti itulah."

"Itu bukan ide yang baik ," kata Wati. "Dia sedang bingung dengan siapa dia akan berjalan di karpet itu nanti. Dia terlalu emosional dan gelisah sekarang. Aku bilang padanya bahwa dia sudah membuat keputusan yang benar dan kamu akan memahami itu."

Aku tidak ingin membuat masalah, dan aku bisa lihat aku tidak akan berusaha melewati sang penjaga pintu, maka kuanggukkan kepalaku dan berbalik.

Aku berjalan ke dalam ruangan di mana sang pendeta sedang bersiap-siap dan bicara dengannya untuk beberapa menit sebelum dia pergi untuk meyakinkan para pelayan altar tahu apa yang harus mereka lakukan. Dia berkata aku boleh tetap berada di sini jika aku ingin, kuambil tawarannya dan duduk pada sofa kulitnya menghadap jendela dan melihat orang-orang yang memakai stelan jas resmi dan gaun pesta ke dalam gereja.

Pintu terbuka dan menutup di belakangku. Mengira kalau yang masuk adalah sang pendeta, aku berdiri dan berkata, "Apa kerjaan mereka beres?"

"Beres?" tanya Erna.

"Ah. Aku pikir kamu si pendeta." dia tertawa.

Erna menggantikan tempatku di sofa ketika aku berjalan di sekitar jendela dengan membayangkan hubungan seks sedarah. Dia berbicara lagi, "Satu-satunya cerita tentang kitab ***** yang aku tahu hanya Lott dan keluarganya."

Lott dan keluarganya? Aku tahu aku perlu pergi ke kamar mandi dan bermasturbasi untuk membebaskan gairahku. " Lott siapa?" tanyaku.

"Ayah," kata Erna, membuatku malu, "Kamu mempunyai dua orang putri dan kamu tidak mengetahui cerita tentang Lott."

Aku berpaling dari jendela dan melihat putriku yang tersenyum dengan manis. "Erna, satu-satunya kitab suci yang pernah ku baca adalah kitab suci blues."

"Isterinya berubah menjadi tiang garam." dia mencoba untuk menggetarkan sebuah memori yang belum pernah dipelajari. "Mereka pikir mereka adalah satu-satunya orang yang hidup di atas bumi." kakinya bertumpu pada meja kopi di depan sofa menekuk lututnya saat dia mengayunkannya maju mundur, membuka dan menutup. Gaunnya yang mulai tersingkap ke atas pahanya yang memperlihatkan lebih banyak bagian dari paha dalamnya. "Seorang wanita muda sedang terangsang." Gaunnya tesingkap hingga di atas lututnya, suaranya menggesek maju mundur mennyelimuti detak jantungku yang terus meningkat. Dia melanjutkan ceritanya, aku berjalan semakin dekat untuk senyuman lezat yang ingin kucicipi itu tetapi sadar kalau aku tidak bisa melakukannya, "Mereka membuat mabuk Ayahnya dan kemudian mendapatkan keinginan mereka bersamanya."

Putriku yang berumur sembilan belas tahun sedang menggodaku. Aku sering melihat ‘groupies’ untuk mengetahui tentang apa arti dari godaan, tetapi groupies lebih blak-blakan. Semua orang tahu apa yang mereka inginkan. Ada sesuatu yang disembunyikan di sini, kita berdua tahu apa yang akan terjadi. Aku yakin kami berdua bukanlah orang ‘suci’. Tapi godaan ini tak akan berakibat apapun. Tidak ada apapun yang bisa. Itu salah. Kami tidak bisa biarkan sesuatu terjadi. Sesuatu yang bersifat seksual.

Dia membuka kakinya lebih lebar, seperti sebuah undangan agar datang menikmati. Gaunnya bergerak lebih tinggi dan aku menangkap sebuah pandangan sekilas dari sabuk stockingnya membungkus di sekitar paha indahnya. Erna menurunkan kakinya ke lantai dan aku takut kalau aku akan menerkamnya, aku telah berbuat keterlaluan dengan nafsu pada keindahan pahanya. Paha yang aku inginkan untuk melingkari tubuhku, yang kutelusuri dengan tanganku. Tetapi dia masih tersenyum saat aku memandangnya, memainkan pikiranku. Dia ingin agar aku duduk pada meja di depannya dan aku melakukannya, tidak ingin mengecewakan wanita muda ini.

"Tetaplah di sini," dia berkata.

Aku mematuhi dan menutup wajahku dengan tanganku, berusaha meredakan pikiranku yang penuh gairah. Aku ingin kehangatan dari seorang wanita, dan aku ingin merasakan kehangatan itu pada penisku. Aku ingin dadanya di tanganku, pahanya bergesekan dengan milikku. Aku menginginkan perhatian dan cintanya. Itu salah, atau kira-kira itulah yang mereka katakan, untuk bernafsu pada wanita yang aku inginkan. Tetapi melihatnya mengayunkan paha, menggesekkan ke depan dan ke belakang, membayangkan itu adalah vaginanya yang menggesek, menelan penisku, merintih dengan penuh gairah ketika aku memompa keluar masuk tubuhnya, aku sampai digaris tepi itu.

Tanganku menutupi wajahku, pikiranku menjadi liar, aku mendengar suara pintu di seberang ruangan ditutup di belakangku yang diikuti oleh suara mengunci pintu itu. Sepertinya ada dua orang di sana. Aku mengintip dari tanganku dan melihat seorang pengantin wanita yang paling cantik dalam hidupku. Tingginya yang sama dengan adiknya, dia mempunyai sebuah wajah yang sama cantiknya dan bentuk tubuh sempurna yang tak beda. Jika rambutnya tidak lebih panjang, pasti susah untuk membedakan mereka. Aku berdiri, penisku masih keras, tapi tersembunyi oleh pakaian resmi yang kupakai. Malu dengan pemikiranku akan Erna, aku mendekati Endang mengenakan gaun pengantin anggun, menggairahkan. "Sayang, kamu cantik sekali," kataku. Paha Endang yang terlihat menyembul dari balik gaun putihnya hampir membuatku meledak di dalam celana dalamku.

Jasku sedang dibuka oleh seseorang di belakangku. Aku menoleh dan menemukan Erna. Keinginan yang penuh gairah kembali lagi. Endang tersenyum pada Erna dan melihat mata Endang, aku tahu putri bungsuku pasti tersenyum juga. Aku mulai untuk mencoba katakan sesuatu, tapi Endang memotong, "Ayah," dia berkata. "Ayah yang manis, lembut."

Dia bergerak semakin dekat kepadaku seiring kurasa tangan Erna mengelus lenganku kemudian menyeberang ke dadaku. Aku pikir aku sedang bermimpi dan aku ingin terbangun agar aku bisa segera lakukan masturbasi dan mengeluarkan bayangan ini dari pikiranku. Tapi ini bukan sebuah mimpi.

"Aku tahu Ayah merasa sepertinya Ayah sudah menelantarkan kita. Tapi, kita tahu kalau Ayah sudah mencoba yang terbaik. Kita tahu Ibu yang sulit menerimanya."

Erna menambahkan ketika dia tetap membelai dadaku, "Kami mencintai Ayah. Waktu yang pernah kita lewati bersama sangat berharga." kemudian dia dengan lembut mencium leherku. Nafasnya yang halus menggetarkan tubuhku.

"Sebenarnya, kami sangat menginginkan Ayah," kata Endang saat dia telah dengan sepenuhnya merapat.

"Ini adalah khayalanku," katanya sebelum dengan singkat mencicipi bibirku.

Tanganku bergerak ke bawah gaun pengantinnya, meluncur di atas kedua pahanya. Dagingnya yang halus tidak mengenakan stocking. Saat tangan kiriku mencapai kelembabannya, rambut kemaluannya, aku tahu dia ingin di setubuhi. Penisku semakin keras saat lidah bernafsu Endang menjadi lebih agresif dan mengatakan padaku bahwa penis Ayahnya inilah yang dia inginkan di dalam vaginanya.

"Katakan pada Ayah betapa kamu sangat menginginkan dia, Endang." Erna sudah pindah dari belakangku ke belakang Endang. Saat aku sedang mengelus paha Endang dengan satu tangan dan menggoda bibir vaginanya dengan jari dari tangan yang lainnya, Erna sedang mengelus dada kakaknya dan mencium lehernya dan memegangi telinganya. Kemudian aku merasa tangan Erna bergabung dengan tanganku dalam merasakan vagina kakaknya yang basah.

"Ohh, ya, Ayah," erang Endang lirih. Celana dalamku terlepas dan putriku mendapatkan penisku di dalam genggaman tangannya. Dia menyeka beberapa precum dengan jarinya dan menghisapnya ke dalam mulutnya sebelum menarikku kembali dalam sebuah ciuman. "Aku ingin kamu menyetubuhiku, Ayah. Setubuhi gadis kecil yang nakal ini."

Vagina Endang yang panas adalah hal yang terbaik yang pernah dirasakan jariku, dan saat dia menjauh, mereka dibuat sedih. Tetapi dia lalu duduk di atas sofa, lutut ditekuk dan kaki mengangkang terbuka, seperti yang dilakukan Erna sebelumnya. Dia menyingkap gaunnya dan kulihat gundukan dagingnya yang menggairahkan di bawah gaun pengantinnya. Erna memanfaatkan kesempatan yang ditinggalkan kakaknya, berlutut dan mengambil penis kerasku dalam mulut mudanya. Aku membungkukkan kepalaku dan membelai rambutnya saat dia menghisap batang tebalku. Melalui mataku yang hampir terpejam, aku bisa melihat Endang yang memainkan kelentitnya, menjilat sari buahnya.

Endang tidak bisa membendungnya lagi, dan tak pasti berapa lama hisapan adiknya yang sempurna ini sanggup kuhadapi, sebab dia perintahkan padaku agar datang padanya. "Kemarilah dan setubuhi aku, Ayah. Aku ingin penis besar Ayah di dalam vagina panasku sekarang. Aku ingin kita keluar bersama."

Erna mendengar rintihan kakaknya dan melepaskanku dari genggamannya, mendekat ke Endang. Kedua putriku mulai saling mencium, Erna memberi kakak kandungnya sebuah rasa dari apa yang akan segera di alami vaginanya.

Aku bergerak di antara paha Endang, meluncurkan tanganku pada daging yang paling berharga yang kutahu, putriku. "Ohh, sayang. Kamu sangat indah. Ayah tidak bisa mencegah dirinya. Penisku terasa sakit karena kamu." aku mengagumi kecantikan dan keindahannya dan mendekatkan wajahku pada vagina basahnya. Sari buahnya sangat merangsang dan lidahku melingkari bibirnya, mengambil cintanya di dalamnya.

"Ohh, Ayah," desahnya saat aku menyisipkan lidahku sedalamnya, kemudian menarik keluarn dan mencicipi daging yang melingkupi kelentitnya. "Aku sangat ingin kamu menyetubuhiku."

Penisku tidak bisa ditahan lagi. Aku harus merasakan kehangatan putriku pada penisku. Aku bangkit dengan perasaan yang sangat bersemangat mendapatkan seorang wanita muda yang dengan sepenuhnya mengharapkanmu dalam hidupnya dan melihat Erna yang menghisap puting susu kakaknya. Kupegang penisku mengarah ke daging basah Endang yang membuka, merasakan darahku terpompa dibawah jariku. Pelan-pelan kuselipkan dalam sebuah dorongan pendek, kehangatannya terasa berlimpah saat aku mempertimbangkan konsekwensi tindakan terlarang ini. Aku ingin wanita muda ini, putri kandungku sendiri.

Endang melingkarkan kakinya di punggungku, seolah-olah merasakan keraguanku, dan menarikku dengan penuh ke dalamnya. "Kumohon, setubuhi aku. Ohh, Tuhan penis besar Ayah terasa hebat. Keluarlah di dalamku, Ayah. Aku ingin merasakan sperma Ayah menetes ke kakiku saat aku katakan janjiku di depan pendeta."

"Ohh, sayang. Vaginamu sangat panas dan ketat di penis besar Ayah. Ini adalah vagina terbaik yang pernah ku punya. Ayah ingin menyetubuhi kedua putriku melebihi apapun di dunia ini." aku memompa dengan penuh cinta, tetapi perasaan ini tumbuh terlalu keras untuk di kendalikan. "Katakan kamu ingin ayahmu bagaimana, sayang."

"Ohh, Tuhan. Aku keluar Ayah. Keluarlah bersamaku." pinggulnya menusukkan vaginanya lebih ke dalam penisku.

"Setubuhi putrimu lebih keras," Erna memerintahkan.

Aku memandang dari nafsu kusamku untuk melihat kedua anak gadisku saling melilitkan lidahnya dalam mulut satu sama lain.

"Vaginamu sangat nikmat di penis kerasku, sayang. Ayah akan keluar. Aku mencintaimu sayang." lalu, kedua tubuh kami meledak dalam sebuah orgasme yang tak terkendalikan. Gelombang demi gelombang spermaku kupompa ke dalam putriku, vaginanya memijat ke luar tiap-tiap tetesan akhir, kakinya menekan pantatku merapat kepadanya.

Penisku mengecil di dalam vagina Endang, dan aku memberinya sebuah ciuman penuh kasih. "Aku mencintaimu, Endang. Akan kulakukan apapun untukmu. Untuk kalian berdua."

"Itu bagus," kata Erna saat dia melangkah keluar dari pakaian pengiring pengantinnya, bra hitamnya dan sepatu bertumit tinggi yang dia kenakan, sangat cocok padanya. "Sebab aku mulai cemburu melihat penis besar Ayah di dalam vagina kakak." dia menggantikan posisiku di antara kaki kakaknya ketika aku bergeser ke samping.

Putriku yang nakal mulai saling berciuman dan aku memindahkan meja menjauh agar aku dapat berdiri di belakang Erna. Endang melepaskan bra adiknya yang memberi efek langsung pada penisku yang mengeras, tetapi itu masih belum siap benar. Tanganku mengelus pinggul Erna ketika aku menggosokkan penisku pada pantat dan di sela pahanya. Aku merasa dia bangkit, maka kuberi ruang padanya saat aku menyadari dia sedang turun pada kakaknya. Mata Endang terpejam, tapi aku bisa melihat kesenangan yang murni pada wajahnya ketika adiknya mencicipi campuran dari orgasme adik dan ayahnya.

Erna telah siap untuk di setubuhi. Dia membentangkan kakinya terpisah dan dengan sepatunya yang bertumit tinggi dan kepalanya turun pada kakaknya, pantatnya bergoyang dengan sempurna. Aku harus mencicipinya dulu. Maka aku turun ke atas lantai di antara kakinya, dan mengangkat kepalaku ke atas, mulai menjilat vagina basahnya. Dia membantuku dengan satu jarinya yang menggosok kelentitnya ketika aku menjilat ke dalam bibir vaginanya.

Rintihannya mengirimku ke garis tepi itu. Kami semua tidak mampu membendungnya lagi. Aku bangkit di belakangnya dengan tanganku memmegangi pinggulnya, masih mengayun dan kakinya lebih jauh terpentang, lidahnya masih memberi kenikmatan pada kakaknya lebih lagi. Aku menatap pahanya, ditopang oleh tumitnya, dan teringat dia saat berjalan sepanjang aula itu. Memejamkan mataku, aku menarik kami bersama, penis gemukku menekan jauh ke dalam vaginanya yang panas dan basah,.

"Ohh, Erna." aku mengerang dalam masing-masing ayunanku yang lambat. "Sayang kamu sangat seksi." tanganku meremas pantat dan pinggulnya yang bergerak seiring ayunanku. "Melihatmu mengoral kakakmu membuat Ayah akan keluar lagi."

"Ayah penis besar Ayah terasa sangat nikmat bergerak keluar masuk. Pelanlah agar kita dapat keluar bersama."

Aku mematuhi harapannya. Bergerak dengan penuh rasa sakit dalam gerakan lambat saat aku ingin menusuk yang terakhir, dalam, aku menahan diriku. Bola zakarku mengencang untuk pelepasan, penisku tumbuh lebih gemuk, aku harus melepaskan tali orgasme ini. Pemandangan dari kedua putriku bersama dengan Ayah mereka, perasaan keduanya yang membungkusku, mencintaiku, membuatku berakhir, tak bisa lagi kukendalikan. Perutku mulai mengencang. "Sayang, Ayah keluar." aku merasa spermaku bergerak dari dalam tubuhku bersiap untuk meledak dengan tiap tusukan.

"Keluarlah di dalamku, Ayah. Campur dengan milikku."

Aku sudah menunggu terlalu lama. Kontraksi putriku di sekitar batangku meledakkan sperma dari penisku. "Brengsek," aku mengumpat saat aku tetap memompa anak gadisku, mata terpejam tak menghiraukan dunia ini.

Sebelum sperma terakhirku habis aku merasa seseorang memegang lengan tanganku. Itu adalah Endang. Dia berlutut menuju ke pantat adiknya dan menarikku ke luar. Erna berpaling dengan kelelahan yang terlukis pada wajahnya dan tersenyum saat kakaknya bilang, "Aku ingin mencium suamiku dengan rasa dari dua orang yang paling kucintai di dalam mulutku. Adik dan Ayahku tersayang."

Lalu, aku menutup mataku dan merasakan mulut indah lembutnya, memeras sperma terakhir ke luar dari tubuhku.

TAMAT

Tidak ada komentar: